Oleh: Eka Darmaputera


Setiap orang itu ”unik”. Lain daripada yang lain. Ini telah kita katakan berulang-ulang. Karena itu, walaupun orang-orang yang akan kita bahas ini kita beri satu label saja, yaitu sebagai ”Orang-orang Menyebalkan”, mereka sebenarnya sangat beragam. Brinkman dan Kirschner mencatat setidaknya ada sepuluh tipe. Kita juga telah mengatakan, bahwa—betapa pun menyebalkannya orang-orang itu—seringkali kita tak dapat menghindarkan diri dari berhubungan dengan mereka. Malah, lebih dari itu, Yesus menghendaki agar kita tetap mengasihi mereka. Sebab itu, tidak bisa tidak, kita harus berupaya memelihara kontak dengan mereka. Mencari cara atau kiat yang tepat dalam berurusan dengan mereka. Untuk ini, hanya tersedia satu cara. Kita mesti ”mengenal” mereka sebaik-baiknya, sedalam-dalamnya, selengkap-lengkapnya. 

Bagai dalam peperangan, bila ingin menang, kita mesti mengenal ”medan”-nya, bukan?. KITA mesti berupaya mengenali semua tipe dengan ke”kukuay”annya masing-masing. Sebab, ibarat hendak mengontak orang, itulah ”nomor telepon” mereka. Yang satu berbeda dari yang lain. Bila mau ”nyambung”, kita mesti memutar nomor yang benar. Dalam pada itu, ada hal lain yang tak boleh kita lupakan. Yaitu, bahwa bukan cuma mereka yang ”unik”. Saya dan Anda pun ”unik”. Artinya, masing-masing kita punya ”keanehan” kita sendiri-sendiri.Karena ke”unik”an kita masing-masing itu, maka tipe yang paling ”menyebalkan” bagi seseorang, boleh jadi tidak terlalu ”menyebalkan” bagi orang lain. Ahmad tidak terlalu mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan Badu. Tapi anehnya, justru dengan Chandra, Ahmad betul-betul ”mati kutu”. Padahal bagi Eman, Chandra jauh lebih menyenangkan ketimbang Badu.Dengan demikian, semua orang—tanpa terkecuali—sebenarnya sama-sama ”normal”, dan sama-sama ”abnormal”-nya. Anda, saya, mereka. ”Orang-orang yang menyebalkan”, kata Brinkman dan Kirschner, adalah ”orang-orang normal” dalam penampilan mereka yang terburuk. ”Normal people at their worst”. Menyadari ini, saya harap, kita jadi lebih mau dan mampu terbuka serta bersimpati kepada ”mereka”.

TIPE pertama yang disebut oleh Brinkman dan Kirschner adalah tipe ”TANK”. Atau, kalau saya, tipe ”BULDOSER”. Apa ciri utama dari ”tank” atau ”buldoser” itu? Ya! Main labrak dan main tabrak. Apa pun menghalang di depan, mereka tak peduli. Terjang terus! ”Rawe-rawe rantas, malang-malang putung”. Yang segera tergambar di benak saya, adalah tragedi Tien An-men. Ketika entah berapa ratus tubuh mahasiswa Cina pipih, hancur-luluh, digilas tank tentara. Tergambar pula operasi ”penertiban” ”rumah-rumah liar” di Jakarta. Ketika entah berapa banyak bangunan rubuh ke tanah, berkeping-keping, ditanduk buldoser. Sungguh mengerikan. Sebab mulai melaju, tank dan buldoser tak dapat ditahan. Kita lebih baik cepat-cepat menyingkir! Atau kita akan diterjangnya. Pernahkah Anda berjumpa atau berhubungan dengan orang bertipe seperti itu—seperti ”tank” atau ”buldoser”? 

HARI sedang indah-indahnya. Langit berwarna biru. Angin bertiup pelahan. Dan burung-burung berkicau riang. Di dalam hati, Berti juga bernyanyi. Dalam suasana hati seperti itulah, pagi itu Berti berangkat ke kantor—dengan semangat tinggi. Tapi belum jauh ia melangkah melewati pintu luar, semuanya berubah. Bagai guntur membelah angkasa, ia mendengar suara menggelegar. Suara yang biasa ia dengar. Suara yang ingin sekali ia hindari, tapi tak bisa. Suara ”boss”! Seolah-olah gemuruh bunyi tank menyerbu masuk ke ruangan kantor. Semua benda bergetar. Semua orang gemetar. Tangannya bergerak ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan, bagai kanon yang mencari sasaran tembak. Tiba-tiba telunjuk itu menunjuk tepat ke arah-nya! ”Goblok! Idiot! Tolol! Bagaimana orang se-inkompeten kamu bisa sampai dilahirkan, dan bekerja di tempat ini! Kamu telah mengerjakan proyek itu dua minggu! 14 hari! Itu berarti sudah terlambat 10 hari. Tapi mana? Sampai sekarang belum selesai juga! Mungkin lebih tepat kamu bekerja bersama Mamat saja, membersihkan kakus. Sebab ”IQ”-mu cuma sebatas itu!”Berti hanya bisa terkesima. Tak bisa bereaksi. Sampai kanon itu tiba-tiba berputar arah, mencari sasaran lain. Kali ini Hesti yang kena! Sungguh iba Berti melihat air mata Hesti deras mengucur, bibirnya gemetar, lututnya hampir-hampir tak kuat menyangga tubuhnya yang kecil! Padahal Hesti itu gadis yang sangat penggugup dan perasa!ITULAH stereotip tipe pertama ”orang menyebalkan”. Tipe ”tank”. Tipe ”buldoser”. 

Ciri utamanya adalah, pembawaannya yang meledak-ledak. Kegemarannya berkonfrontasi. Dan orang jangan coba-coba melawan atau membantahnya. Sebab ia juga pemberang, dan mudah sekali lupa diri. Sangat agresif. Penggertak nomor satu. Penyebar teror dan ketakutan. Ini dilakukannya, kadang-kadang—atau sering—tanpa sebab yang memadai. Ia hanya ingin orang menakuti, menghormati, menaati-nya—baik dengan rela maupun terpaksa! Seolah-olah puas, bila melihat orang sampai terkencing-kencing di celana. Sebab itu punya bos, atau suami, atau istri, atau orang tua, atau mertua, atau tetangga, atau guru, atau rekan sekerja seperti dia—wah, amit-amit! Pertanyaan kita, bagaimana menghadapi orang seperti itu—apalagi ”mengasihi”nya? Mungkinkah? Memang tidak mudah, tapi mungkin. Apa lagi, seperti berulang-ulang saya kemukakan, ”mengasihi” sama sekali tidak harus identik dengan ”menyenangi”. 

Saya tidak menyenangi Retno yang bawel, tapi saya mengasihinya. Ketika ia tertimpa musibah, hati saya ikut gundah.YANG pertama-tama penting kita ingat adalah, janganlah sikapnya yang sadis, kata-katanya yang kasar itu, terlalu Anda ambil hati sebagai tertuju kepada Anda secara pribadi. Dalam bahasa Inggris, ”Don’t take it personally!” ”Jangan jadikan itu masalah pribadi!”Sebab sesungguhnyalah, bukan pribadi Anda yang menjadi persoalan. Justru sebaliknya, pribadi orang itulah yang bermasalah. Dia-lah yang problematik, bukan Anda. Dan, jangan lupa, bagi si ‘Tank”, Anda bukanlah ”pribadi”. Anda hanyalah salah satu ”benda” atau ”obyek”, yang kebetulan ada di depan, tatkala ”tank” itu berjalan. Ya diterjangnya, pasti! Ini bisa Berti, Hesti, Anda, atau siapa saja. Semua baru menjadi persoalan yang serius, ketika Anda tidak dapat mengendalikan atau mengarahkan emosi Anda dengan tepat. Emosi Anda—di situlah titik-lemah Anda yang paling rawan! Brinkman dan Kirschner menyebutkan tiga ”respon emosional” yang semuanya wajar, namun kontra-produktif. Alias, merugikan diri Anda sendiri. Respon-respon apa saja saja yang tiga itu, akan kita bicarakan pada waktunya. 

Tapi sebagai penutup bagian ini, saya terlebih dahulu merasa perlu memberikan semacam ”refleksi teologis” sederhana, mengenai yang baru saja kita bicarakan itu. Yakni, masalah ”pengendalian emosi”. Maksud saya adalah untuk menunjukkan, bahwa ”pengendalian emosi” bukanlah sekadar ”kiat” yang bersifat teknis, taktis, dan situasional. Tapi, tak kurang, ia adalah salah satu ciri penting, yang menetap dan melekat pada ”gaya hidup kristiani” kita.PERJANJIAN BARU menyebutnya sebagai ”penguasaan diri”. Dalam Galatia 5:23, Paulus mengkategorikan ”penguasaan diri” sebagai salah satu dari ”buah pekerjaan Roh Kudus”. Ini berarti, pertama, pada dasarnya manusia itu tidak mampu ”menguasai” atau ”mengendalikan” dirinya. Ia mampu, hanya dengan pertolongan Roh Kudus. Lalu apa yang terjadi, bila manusia tidak mampu ”menguasai diri”-nya sendiri? Yang terjadi adalah, ia ”dikuasai”, ”dikendalikan”, ”ditaklukkan”, ”diperhamba”, oleh ”nafsu-nafsu kedagingan”nya (Galatia 5:17). 

Dan inilah yang kita lihat terjadi, pada orang-orang tipe ”Tank”. Mereka tak dapat mengendalikan nafsu amarahnya! Orang-orang ini, masih hidup di bawah perbudakan. Kelihatannya saja kuat, perkasa, dan menakutkan, tetapi sebenarnya ”budak”. Yang kedua, yang dapat kita simpulkan, adalah, bahwa orang yang dikuasai oleh Roh Kudus, mau tidak mau, akan hidup dalam ”penguasaan diri”. Mampu mengendalikan diri! Mampu menguasai emosi! Dengan cara inilah, anak-anak Tuhan menunjukkan ”kelebihan”nya. Mungkin, dalam banyak hal, mesti ”mengalah”, tapi ”tidak kalah”! ”Lemah lembut”, tapi ”tidak lemah”! ”Rendah hati”, tapi tidak ”rendah diri”.