Oleh: Abhotneo Naibaho

Di suatu sore jam sudah menunjukkan pukul 15.45 wib di Pangururan, Kabupaten Samosir, kami segera bergegas menuju pelabuhan Simanindo hendak bertolak ke seberang, yakni Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun.
Setibanya di pelabuhan Simanindo pukul 16.30 wib ternyata Kapal Motor sudah kepalang melaju menuju arah Pelabuhan Tigaras. Seketika, harapan menjadi pupus oleh karena kapal motor yang sudah melaju menuju seberang sekitar 700m di atas danau adalah kapal trip terakhir.
Di pelabuhan Simanindo, seorang bapak berusia tak lebih dari 50 tahun seraya menenteng beberapa jiregen kosong menghampiri kami seraya berkata dalam bahasa batak, "laho tu dia hamu lae, molo laho menyeberang dang adong be kapal, nunga habis." (Terj bebas; kapal sudah tidak ada lagi, sudah berangkat).
Aku dan seorang rekanku sedikit membisu mendengarkan informasi si bapak tersebut. Tak lama, si bapak yang bermarga Sidabutar tersebut mengeluarkan ponsel dari kantongnya dan mencoba memanggil seseorang di ujung udara yang kami tidak tahu siapa.
"Mamutar balik jo hamu tu son, adong dua halak sewa na tading," kata si bapak dengan dialek Samosir-nya. (Terj bebas; tolong segera kembali ke pelabuhan Simanindo ada 2 orang penumpang yang ketinggalan).
Tak harus menunggu lama, si nahkoda kapal motor yang sudah melaju dengan radius 700m segera turut perintah pak Sidabutar yang menghubunginya via ponsel.
"Siapa gerangan orang ini sehingga ia bisa memberikan perintah kepada nahkoda kapal di kejauhan sana?" kami bergumam dalam hati.
Ternyata, si bapak tersebut adalah toke alias pemilik dari kapal motor tersebut. Dengan waktu kurang-lebih sepuluh menit-an, kapal yang sudah melaju menuju Tigaras segera berbalik arah menuju pelabuhan Simanindo untuk bersandar kembali menjemput dua calon penumpang yang sedikit bernasib malang sore itu.
Dengan menyelah nafas dalam-dalam, untuk beberapa saat tak hentinya kami berdua menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pak Sidabutar karena dengan sukarela memberikan pertolongan kepada kami.
Sepeda motor kami pun segera dinaikkan oleh kondektur ke dek kapal motor, sementara aku dan rekan ku menaiki lantai dua kapal untuk mencari tempat duduk.
Kami berdua duduk sementara beberapa pasang mata penumpang di dalam kapal tertuju kepada kami entah mereka sedang berempati atau sebaliknya, kami tidak tahu.
Dari atas kapal, kami melambaikan tangan ke arah pak Sidabutar seraya mengucapkan terima kasih untuk yang terakhir kali. Ia pun membalasnya kembali dengan lambaian tangan dari pelabuhan.
Senja di Tigaras menjadi bagian kami ketika sandar sore itu. Sedikit mereview ke belakang, andaikan kebaikan si bapak tidak kami dapatkan, maka kami harus menyeberang via pelabuhan Tomok dan tiba larut malam akan menjadi bagian kami hari itu.
Di sisi lain, menjadi pelajaran hidup adalah, pelayanan seorang pemilik kapal motor yang memberi motivasi "How to be the excelent leader" menginspirasi kami berdua.
Umumnya, jika seseorang sudah menjadi toke di bidang transportasi atau pengangkutan, hal demikian akan sangat jarang untuk ditemukan.
Dan yang terakhir, yang tak kalah penting untuk dijadikan pembelajaran adalah, bagaimana kedisiplinan waktu yang harus kita miliki. Di setiap jadwal apa pun itu, mari kita belajar dan mendisiplinkan diri agar apa yang kami alami tidak terulang kembali.