Oleh: Abhotneo Naibaho



Bangsa Indonesia dengan statusnya hingga kini sebagai Negara yang sedang berkembang bisa dibilang melaju dengan kecepatan rata-rata saja. Hal ini mungkin bisa diukur paling tidak satu dari sekian banyak indikator yakni rendahnya minat baca anak bangsa. Sementara disebut sebagai Negara Maju, salah satu indikatornya adalah masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi.



Ditengah-tengah kondisi bangsa seperti sekarang ini, masih saja elit politik di Gedung Kura-kura, Senayan memiliki ego yang meninggi dengan keinginannya yang ‘super wah’, demi mencatat sejarah sebagai Perpustakaan terbesar dan terlengkap se-Asia Tenggara. Sederhananya, tidak lah salah jika pun bangsa Indonesia tercatat sebagai Negara yang memiliki Perpustakaan terlengkap dan terbesar se-Asia Tenggara jika saja rakyatnya secara merata memiliki kecerdasan secara intelektual. Persoalannya adalah yang empunya gagasan tersebut adalah para wakil-wakil rakyat yang duduk di singgah sananya, lupa bahwa anak-anak di pinggiran Indonesia masih banyak yang terabaikan dalam hal pendidikan. Mereka tidak dibekali dengan buku-buku pengetahuan yang uptodate seperti halnya di Kota-kota besar. Belum lagi sumber daya manusia sebagai pengajar yang masih banyak yang memiliki kompetensi yang rendah. Mereka para wakil rakyat yang terhormat, lebih mementingkan keinginannya menorehkan sejarah bangsa dengan fasilitas Perpustakaan nan megah bin comfortable.


Selayaknyalah jika amanah yang diemban sebagai ‘Wakil Rakyat’ harus mau dan mampu membela kepentingan rakyat, bukan elitnya. Seorang wakil rakyat tak perlu berambisi tinggi soal mencatat sejarah. Yang jauh lebih perlu adalah bagaimana seorang wakil rakyat bisa menjembatani aspirasi rakyat untuk diusulkan kepada Pemerintah agar diwujudkan. Faktanya perpusatakaan Gedung DPR RI yang selama ini masih minim pengunjung untuk membaca maupun meminjam buku di sana. 


Bicara soal relevansi Pengadaan Perpustakaan Megah, apakah ada hubungannya dengan jaminan kecerdasan anak bangsa..?? Jangankan anak bangsa, jikalah Perpustakaan Megah ini kelak akan terealisasi, adakah jaminan bahwa para Wakil Rakyat khusunya di DPR RI akan semakin giat membaca untuk menimba ilmu dan memperluas wawasan sehingga kemudian akan terimplementasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota DPR…??? Berdalih atas usulan oleh para cendekiawan maupun kaum intelektual yang datang menemui para elit, sungguh tidak relevan. Harusnya para cendikiawan maupun kaum intelektual tersebut memberi usulan kepada Pemerintah Pusat agar supaya layanan dan ketersediaan fasilitas buku-buku lebih lengkap lagi di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).


Saya mencoba memberikan sedikit indikasi bahwasanya minat baca masyarakat betapa rendahnya di bangsa ini. Sebagai contoh Kota Pematangsiantar, di mana kurang lebih dua tahunan yang lalu saya mencoba membuka stand buku (Pameran) di Gedung Olah Raga (GOR) dalam sebuah acara seminar selama dua hari dengan pengunjung sekitar tiga ribuan orang diataranya mayoritas tenaga Pendidik dan Siswa sekolah. Namun apa yang terjadi..?? Jumlah pembeli buku yang saya display ketika itu, jauh dari harapan alias sangat minim bahkan jika ditanya soal omzet, hanya di angka dua ratusan ribu rupiah saja. Miris melihat kondisi bahwa minat baca betapa rendahnya di Kota ini. Bukanlah soal kekesalan oleh karena saya memperoleh omzet yang tak seberapa, namun hati ini sangat miris melihat realita seperti demikian.


Contoh tersebut di atas paling tidak sudah membuktikan bahwa betapa rendahnya minat baca di salah satu daerah di Republik ini. Konon katanya, para Wakil Rakyat bermimpi untuk membangun Perpustakaan nan Megah.


Negara kita saat ini butuh ‘revolusi mental’ bukan ‘revolusi gedung’ dengan segala fasilitasnya yang wow. Sebagai seorang aktivis, saya mengusulkan kepada Pemerintah Pusat hendaknya tidak menyetujui dengan keinginan spektakuler Dewan yang terhormat karena tidak ada jaminan bahwa anak bangsa akan bertambah cerdas jika hal ini diwujudkan. Akan jauh lebih terasa sentuhannya kepada masyarakat apabila Kementrian Pendidikan merekrut Sumber Daya Manusia dalam hal ini para Guru-guru relawan yang akan mendapatkan pelatihan sebelumnya, kemudian turun ke daerah-daerah terpencil  untuk memberikan pendidikan ke masyarakat luas, khususnya masyarakat yang terpinggirkan agar supaya mereka nantinya mengalami suatu perubahan demi memperoleh kecerdasan intelektual. Sebut saja Butet Manurung seorang alumnus salah satu Perguruan Tinggi Negeri terbaik di negeri ini, ia mendedikasikan dirinya dalam dunia pendidikan informal ke suku anak dalam di propinsi Jambi. Kiprahnya tak perlu diragukan lagi karena hari-harinya habis memberikan edukasi kepada masyarakat yang tidak terjangkau buku. Ada perubahan di sana. Di mana masyarakat di sana mulai mengenal yang namanya aksara. Tahu baca-tulis hingga dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik. Semua berkat kegigihan Butet Manurung mengabdikan diri dengan mengajar dan membimbing mereka.


Saya yakin kepada Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Anis Baswedan bahwa akan berpihak kepada kepentingan bangsa bukan kepada para elit. Kehadiran Pak Menteri untuk membantu Presiden Joko Widodo dalam dunia pendidikan, tergantung ribuan harapan anak bangsa khususnya para anak didik yang ada di desa-desa terpencil, di perbatasan mampu membawa perubahan dalam dunia pendidikan. Sudah terlalu lama pembiaran terjadi di mana kesenjangan antara sekolah-sekolah di perkotaan dan di desa-desa. Semoga ada pemerataan fasilitas dan sumber daya manusia dalam dunia pendidikan. Dan sebagai harapan terakhir saya, kiranya Pak Presiden Joko Widodo bersama Pak Menteri Anis Baswedan angkat bicara soal pengadaan Perpustakaan Megah yang digagas oleh para anggota Dewan yang terhormat supaya tidak menyetujui usulan tersebut karena Negara sudah memiliki Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).