Oleh:
Steve Kosasih
Pemimpin Perusahaan
Transportasi Publik
DESA itu mendadak heboh. Seorang bunga desa, putri pedagang
ikan terbesar di daerah itu, dihamili oleh berandalan terkenal di kampung
tersebut; seorang pengangguran dan pecandu narkoba. Semua orang mengasihani
nasib sang bunga desa yang terkenal cantik dan baik itu. Dia seakan menerima
buah simalakama. Jika tidak dinikahi sang berandalan ia akan mendapat aib. Jika
dinikahi, bunga desa itu akan bersuamikan berandal pengangguran pecandu narkoba
yang mungkin akan menelantarkan keluarganya.
Sang berandal datang bersama keluarganya untuk melamar sang
bunga desa. Saat ayah dari bunga desa tersebut membuka pintu rumahnya dia
melihat sang berandalan menyengir senang karena akan mendapat istri yang sangat
cantik. Tampak pula orangtua sang berandalan yang tersipu malu karena kelakuan
putra mereka, sekaligus senang karena akan mendapat menantu yang terkenal
cantik dan baik. Hal ini akan memperbaiki reputasi keluarga mereka.
Sang ayah menghela napasnya. “Ada apa ini?” katanya. Sambil
tersenyum sang berandalan menyatakan ia akan bertanggungjawab menikahi sang
bunga desa. Orangtua sang berandal pun mengatakan bahwa pernikahan itu
menghapus aib keluarga sang pedagang ikan karena sang bunga desa akan menikah
baik-baik sebelum bayinya lahir.
Di luar dugaan sang ayah berkata, “Tidak”. Saya tidak akan
menikahkan anak saya hanya karena kejadian ini. Ikan busuk saja laku dijual di
pasar, apalagi anak saya. Dia cantik, pintar, dan baik. Dia berhak memiliki
masa depan dan pasangan hidup yang baik. Hidup anak saya bertahun-tahun ke
depan lebih penting daripada perasaan saya hari ini. Maaf, saya menolak lamaran
ini”. Para pelamar pun pulang dengan kecewa. Penduduk desa menyayangkan aib
yang akan ditanggung oleh sang pedagang ikan dan putrinya. Namun, sang ayah
bergeming. “Ikan busuk pun laku dijual di pasar, apalagi anak saya,” itu
prinsip yang dipegangnya dengan teguh.
Sang bunga desa pun melahirkan anaknya dan hidup sebagai
orangtua tunggal. Ia menyelesaikan pendidikannya dan menjadi perempuan karier
yang berhasil. Bertahun-tahun kemudian ia bertemu dengan pria pebisnis yang
menyayanginya dan anaknya. Mereka menikah dan hidup bahagia. Saat artikel ini
ditulis, keluarga baru itu sudah pindah ke Amerika Serikat megikuti pertumbuhan
bisnis sang suami.
Mengutamakan tujuan, bukan keadaan
Keputusan sang ayah ternyata benar. Mengutamakan tujuan
jangka panjang ternyata lebih baik daripada mementingkan keadaan yang sifatnya
jangka pendek. Terlalu mengkhawatirkan apa yang dipikirkan orang mungkin malah
menjauhkan kita dari tujuan. Stephen R Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly
Effective People menyatakan bahwa salah satu sifat pemimpin yang efektif adalah
“begin with the end in mind” atau mendasarkan seluruh pengambilan keputusan
pada tujuan akhir kita, bukan pada perasaan sesaat yang bisa menjauhkan kita
dari tujuan.









0 Komentar
Silakan berkomentar!