KISRUH SOAL TANAH  
YAYASAN MASEHI ADVENT HARI KETUJUH DAN PANDIANGAN CS
BERUJUNG BENTROK



Sengketa lahan yang saat ini berdiri sebagai Yayasan Pendidikan Masehi Advent Hari Ketujuh dan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh harus berujung pada sebuah bentrokan antara Pihak Yayasan Masehi Advent Hari Ketjuh dengan Keluarga besar Pandiangan CS pada Senin pagi (28/4) sekitar pukul 8 pagi harinya.

Bermula dari adanya pengakuan hak atas tanah oleh keluarga besar Pandiangan yang sudah merupakan cerita panjang kurang lebih 30 tahunan dan telah melewati proses hukum antara keluarga besar Pandiangan dengan banyak oknum mau pun lembaga yang juga mengaku hal yang sama bahwa tanah tersebut adalah milik mereka.
Senin pagi, setelah sehari sebelumnya Kelurga besar Pandiangan membuat pagar batas antara Yayasan Pendidikan Masehi Advent Hari Ketujuh dengan bagian tanah yang mereka claim milik mereka harus berujung pada sebuah bentrokan karena siswa dan para guru bahkan orangtua siswa ikut serta berusaha mencabut pagar tersebut.

Sehari setelah kejadian itu Mitra Indonesia mencoba menyambangi lokasi Yayasan Pendidikan Masehi Advent Hari Ketujuh yang beralamat di Jalan Nias Ujung No. 67, Kota Pematangsiantar dan setibanya di sana langsung mengkonfirmasi kepada pihak sekolah dalam hal ini diwakili oleh bapak H. Simbolon selaku Kepala Sekolah SMP dan SMA Yayasan Pendidikan Masehi Advent Hari Ketujuh. Simbolon menjelaskan kepada Mitra Indonesia bahwa apa yang terjadi pada hari senin pagi kemaren merupakan sebuah kejadian yang spontan dari pihak Pandiangan CS yang mencoba melakukan pemblokiran dengan cara mendirikan pagar kawat duri. Di depan gedung Gereja juga terlihat ada tumpukan batu padas yang bertujuan untuk menghalang-halangi renovasi pembangunan gedung Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Keluarga pandiangan seolah-olah berkuasa, di belakang gedung Gereja juga ada rumah dan sepengetahuan kami bahwa itu juga merupakan milik organisasi Gereja. Dan Akibat dari ketidakpuasan Pandiangan CSlah hal ini sampai terjadi, cetus Simbolon.
Saat ditanya apa yang menjadi pemicunya, Simbolon menambahkan bahwa pemicunya adalah dikarenakan rasa ketidakpuasan mereka selama ini. Sebenarnya dari Mahkamah Agung (MA) sendiri juga masalah ini telah lama selesai. Dalam peristiwa bentrokan tersebut ada tujuh orang siswa kami yang mengalami cidera. Dan menurut pengakuan siswa kami yg mengalami cidera tersebut adalah bahwa mereka didorong-dorong bahkan ada yang memukul. Saat ini siswa-siswa kami yang mengalami cidera sedang dirawat di RS. Vita Insani, Kota Pematangsiantar. Pihak Pandiangan CS hanya mengaku-ngaku bahwa ini milik mereka sementara tanah dan bangunan ini adalah murni milik organisasi Gereja atau Yayasan Masehi Advent Hari Ketujuh, ungkap Simbolon.

Di tempat yg berbeda di Jl. Simbolon No. 6, Kota Pematangsiantar yang merupakan kantor pusat Zending Gereja Masehi Advet Hari Ketujuh untuk wilayah Sumatera Utara, Pdt. Simon Tarmidi selaku Direktur Yayasan Pendidikan menuturkan bahwa kejadian pada senin pagi benar telah terjadi. Pihak Pandiangan CS awalnya menanami pohon pisang, dan kemudian seperti yang terakhir pagar kawat duri pun dipasang. Saya memang orang baru di Yayasan pendidikan yang di sini namun sebenarnya secara hukum mulai dari tingkat yang terendah hingga ke tingkat yang tertinggi telah memutuskan bahwa status tanah ini adalah milik organisasi Gereja kami, terang Tardimi.
Sementara itu di waktu yang berbeda masih di sekitar areal Yayasan Pendidikan Masehi Advent Hari Ketujuh, Mitra Indonesia juga mencoba mengkonfirmasi kepada pihak Pandingan CS yang diwakili oleh Dame Pandiangan. Dengan ramah Pandiangan menerima dan mempersilahkan Mitra Indonesia mencoba menceritakan kronologis kejadian Sabtu pagi. Dame memberikan keterangan bahwa lokasi pekarangan rumah keluarga besar mereka saat ini seluas 6500 m. Kami tidak pernah merasa bersengketa dengan pihak yayasan, namun oknum-oknum pendidik dan para Pendeta yang ada di Sekolah ini merekalah yang mengclaim hak atas tanah ini. Dame Pandiangan mengaku bahwa apa yang terjadi saat ini adalah bahwa kami mencoba mempertahankan apa yang menjadi hak milik yang telah dirintis oleh orangtua kami Marinus Pandiangan (Alm) sejak lama yang mana telah berpindah-tangan karena diambil alih oleh beberapa pihak yang mengaku bahwa ini tanah milik mereka. Secara hukum kasus ini memang telah sejak lama berproses namun hingga kini belum ada titik terangnya. Saya meyakini bahwa dalam kasus ini telah terjadi putusan yang tidak fair oleh karena semua gugatan dari pihak luar yang telah menclaim bahwa ini tanah mereka, secara hukum dan bukti tertulis, mereka tidak dapat membuktikan dan mempertanggungjawabkannya. Beberapa pengurus yang saat ini ada di Yayasan Masehi Advent Hari Ketujuh adalah orang-orang baru yang secara akurat mereka tidak tahu-menahu duduk persoalan yang sesungguhnya. Selalu mereka mengatakan bahwa pihak Pandiangan CS selalu kalah ketika dibawa pada proses hukum, namun sebenarnya mereka tidak dapat membuktikan di mana letak kekalahan kami, tutur Dame Pandiangan.
Saya punya bukti-bukti yang kongkrit yang menyatakan bahwa ini adalah milik orangtua kami, nanti saya akan berikan fotocopinya saat berkas-berkas yang saat ini sedang dibawa oleh adik saya ke Mapolda Sumut karena tadi malam Kapolresta Pematangsiantar tidak mau menerima pengaduan kami, ungkapnya. Beberapa tahun yang lalu sebenarnya pihak kami mau diajak untuk berdamai dengan cara tanah ini dibagi dua, namun tunggu tinggal tunggu mereka tetap tidak mau. Kini batas kesabaran saya sudah berakhir dan secara nurani pun kejadian pada senin pagi kemaren menurut saya apa yang mereka lakukan membongkar pagar batas yang telah kami buat merupakan bukti bahwa mereka tidak mau diajak untuk berdamai. Saya juga punya peta yang menguatkan batas-batas tanah yang mana bahwa sejak awal Yayasan yang didirikan oleh orangtua kami benar adanya. Dulunya ada rekan orangtua kami yang sama-sama ikut terlibat dalam kepengurusan yayasan ini, namun dia jugalah yang telah menipu orangtua kami untuk dia dan banyak pihak yang berusaha menyatakan bahwa tanah ini milik mereka.

Tahun 1952 awalnya Orangtua saya membeli tanah ini dan didirikanlah SMA-SMP Pendidikan Cahaya. Tanah ini dibeli orangtua kami dari Pemerintah Kota Praja (saat itu baru merdeka). Tanah ini persil 98. Dan berjalan hanya hingga tahun 1955. Oleh karena Pemerintah menganjurkan harus berbadan Hukum akhirnya orangtua kami mengurus Bandan Hukumnya dengan Akte notaris No.15 tgl 26 Agustus 1955 dengan nama SMA-SMP Pendidikan Cahaya Indonesia dihadapan Notaris  Lumbanraja. Dan sesunguhnya tanah ini tidak pernah diserahkan orangtua kami kepada pihak Yayasan.   Kami tidak pernah sengketa dengan Yayasan tapi dengan oknum-oknum yang ada saat ini  di lokasi pendidikan ini. Awalnya tanaman dan pagar kita diinjak oleh siswa sekolah ini padahal itu pekarangan kita, cetus Dame Pandiangan.

Kami sekeluarga memang banyak berprofesi di jalur hukum, namun kami tetap berusaha untuk menunjukkan kebenaran dan berusaha melakukan bahwa kami ini adalah orang Kristen yang harus berusaha menegakkan kebenaran. Jadi mereka yang mengaku Pendeta janganlah seenaknya mengatakan bahwa kami ini setan. Bicara soal hukum bukanlah bicara hanya bisa berkata-kata saja, kami belajar keras dan untuk menjadi orang hukum kami pun harus melalui tantangan dan perjuangan. Kami juga merindukan untuk masuk sorga jadi bukan mereka saja yang mengaku Pendeta.

Tahun 2009 kami terus menanti apakah jalan damai tersebut mereka sanggupi. Kami terus menungu mereka dan jawabannya selalu “masih dirundingkan”. Akhirnya apa yan kami lakukan saat ini adalah wujud ketidakpuasan kami yang mana tawaran jalan damai dari kami tidak mereka indahkan, malah sebaliknya pihak mereka selalu ngotot supaya keberadaan kami di lokasi ini segera dieksekusi. Kasus ini harus terus berlanjut sampai pada akhirnya siapa yang benar dan siapa yang berusaha menutupi kebenaran, terang Dame Pandiangan.

Soal pengrusakan pagar yang dilakukan oleh pihak sekolah, kami akan mencoba  melaporkannya kembali ke Polresta Siantar agar mereka (oknum) mempertanggungjawabkan perbuatan mereka”, tegas Dame Pandiangan yang pernah menjadi Hakim Tipikor di Surabaya ini. (Abhotneo)