![]() |
| Ilustrasi: Orang Batak Lebay/iMAGO27 |
Oleh : Abhotneo Naibaho
Baiklah saya mengakuinya secara terlebih dahulu pada awal tulisan ini
bahwa sesungguhnya saya harus bangga menjadi orang batak (suku batak).
Alasannya, adalah karena bagaimana mungkin harus meratapi ketika saya
dilahirkan sudah menjadi orang batak, sementara Maha Pencipta menghendaki
seseorang untuk lahir ke dunia lewat rahim ibundanya dengan suku sebagaimana
suku ibu dan bapaknya sendiri. Tak perlu ditawar lagi..!!
Agar tidak melebar ke sana-sini, dalam tulisan sederhana ini
saya hanya ingin menyoroti ketidakjujuran orang batak ketika sedang berada di
rumah duka melayat seseorang yang telah meninggal dunia, entah itu keluarga
dekat, sahabat, relasi atau apapun itu hubungan orang yang melayat tersebut
dengan yang telah meninggal dunia.
Bila kita jeli memerhatikan ucapan-ucapan belasungkawa yang
disampaikan oleh banyak pihak kepada keluarga yang ditinggalkan oleh si
almarhum atau almarhumah, tidak jarang ucapan belasungkawa tersebut lebih
kepada kebaikan, yang positif saja. Bahkan, terkadang memberi pujian secara
berlebihan, padahal sesungguhnya tidak demikian adanya (faktanya). Ayoo…..,
yang mengalaminya ngaku yuk….!!!!
“Ama (Ina) na ta paadopadop saonnari on, na burju do on. Di
tingki ngoluna, dang hea diboto on mambahen arsak roha ni donganna.” Terjemahan
bebasnya, kira-kira demikian, “Jenazah Bapak atau Ibu yang sedang di depan kita
saat ini adalah sosok yang baik. Semasa hidupnya, ia tidak pernah membuat sakit
hati temannya.” (Bla…….bla.…..bla…….demikian seterusnya kata-kata belasungkawa
itu dikumandangkan di depan umum oleh orang yang sedang menyampaikan rasa turut
berdukacitanya kepada keluarga yang sedang berduka, padahal sesungguhnya tidak
lah demikian adanya apa yang diucapkan).
Kalau pun toh demikian adanya, seseorang yang meninggal itu
semasa hidupnya memang benar-benar baik, ya katakan saja apa adanya “baik”
tanpa berlebihan. Sebaliknya, jika seseorang yang telah meninggal dunia tadi
semasa hidupnya memang kurang baik atau sama sekali tidak baik, jika engkau
merasa tidak etis untuk mengatakan apa adanya bahwa si almarhum atau almarhumah
semasa hidupnya kurang baik, atau tidak baik sama sekali, cukup katakan dengan
kalimat turut berdukacita saja (Jangan mengada ada!!!)
Jikalau mungkin saya mengumpulkan fakta-fakta demikian sedari
awal pengalaman saya ketika sedang berada di rumah duka sampai kali terakhir
pengalaman, maka bisa dipastikan bukan sedikit lagi catatan atau fakta tentang
itu. “Malah sudah seabrek,” kata orang Batavia.
Sebagai orang batak (belum menjadi tokoh dan tak juga
bermimpi untuk itu), saya hanya mau mengajak kita wahai para orang batak (suku
batak) di mana pun (Ompung, Tulang-Nantulang, Amangboru-Namboru,
Amangtua-Inangtua, Amanguda-Inanguda, Lae-Ito, Pariban, Abang, Anggia), yuk
kita merubah sikap dan juga perspektif kita menjadi orang batak. Mari berkata
apa adanya saja (jujur) kalau memang kita orang batak. Karena mengapa…..????
Ini penting bagi generasi kita yang berikut. Paling tidak, jika kita
menunjukkan sikap mengatakan dengan apa adanya saat melayat di rumah duka
dengan apa adanya, maka kita sedang melakukan ‘kebenaran kecil’ atau ‘jujur’.
Sebaliknya, jika kalimat-kalimat belasungkawa yang tidak
jujur seperti yang telah saya beri contoh di atas tadi, maka bisa dipastikan
kita akan menjadi orang-orang batak yang tidak jujur, membohongi orang banyak,
utamanya membohongi diri sendiri. Atau, jika disebut dengan istilah anak muda
kekinian orang-orang yang demikian suka dengan kepura-puraan, mengucapkan yang tidak
demikian sesungguhnya, santer disebut dengan LEBAY (berlebihan).









0 Komentar
Silakan berkomentar!