Oleh: Abhotneo Naibaho
Bersinar, satu kata yang memiliki sejuta makna. Bagaikan setitik terang berada dalam gelap, di sana terlihat bahwa betapa berartinya sinar atau terang itu.
Semula formasi kami berawal dari empat orang. Diantaranya Risna, Editha, Damayanti dan aku sendiri Benni. Kelompok pun akhirnya diawali pada April 2006 dan berlanjut dalam beberapa bulan ke depan. Di sana kami belajar, berdiskusi bahkan menceriterakan akan masalah masing-masing pribadi untuk mendapatkan solusi, penghiburan kekuatan dari teman-teman seiman dan dari Allah tentunya dengan cara menyampaikannya dalam doa dan permohonan.
Pada satu hari, formasi kami berkurang satu personil. Adik kami yang termuda diantara kami. Damayanti namanya. Adik kami ini menetapkan hatinya untuk menikah dengan pujaan hatinya yang juga sesama warga Paksu. Satu moment yang indah dimana adik kami ini akan melepas masa lajangnya. Di sini kami yang ditinggalkan bertiga pun memetik makna bahwa seseorang menikah tidaklah selalu diukur dengan usia muda maupun tua. Terbukti adik kami ini meskipun termuda diantara kami, namun kedewasaannya mampu mengimbangi kami bertiga. Seperti ada pepatah yang berkata seseorang pergi maka yang lain pun datang. Demikian seorang warga Paksu satu lagi datang menghampiri kami untuk join dalam satu kelompok. Namanya Yenti. Sekali lagi kami berpikir tidak ada yang kebetulan. Jikalau Yenti berketetapan hati untuk join bersama kami, Tuhan punya rencana di dalamnya. Sosok Yenti pun merupakan sosok yang menyenangkan. Orangnya sedikit humoris dan sikap ramah tak jauh darinya.
Beberapa bulan setelah Yenti bersama-sama dengan kami, seorang pria tampan berkulit putih kembali datang menghampiri kami ber-empat untuk join bersama kami. Sekali lagi pintu terbuka bagi pria ini. Namanya Aris. Sosok yang lumayan humoris, cerdas dan berwibawa. Maka formasi kami pun menjadi ber-lima. Bertambahnya satu pria ini seakan melengkapi keminiman yang selama ini terjadi, bahwa keberadaanku selalu didominasi oleh kaum Hawa sekalipun itu bukan menjadi masalah bagiku. Namun harus disyukuri paling tidak suaraku sebagai kaum Adam akan bisa mengimbangi tiga kaum Hawa.
Desember pun tiba. Hari Natal dan Tahun Baru menanti. Seperti Lazimnya, salah satu diantara kami pun ada yang pulang kampung untuk Natalan di sana. Dia adalah Risna. Kepulangannya ke kampung tidak hanya sebatas melepas kerinduan pada ortu maupun keluarga tetapi sekaligus mendapatkan satu kabar baru pada kami. Ternyata dia mendapat tawaran kerja di kota Medan. Risna pun bergumul dan akhirnya dia memutuskan untuk berpindah kota maupun pulau. Sekali lagi formasi pun berkurang satu. Selang beberapa bulan, Aris pun mengalami hal yang sama seperti Risna. Aris mendapat mutasi ke kota Bandung. Maka formasi pun tinggal ber-tiga: Editha, Yenti dan Aku. Mungkin demikianlah realitanya pada kelompok kami. Selalu ada yang pergi dan ada yang datang. Beberapa bulan kemudian seorang warga Paksu satu lagi datang menghampiri kami untuk join dalam satu kelompok. Namanya Efendi. Orangnya ramah dan sedikit humoris. Pintu kembali terbuka bagi Efendi dan kelompok pun berjalan terus tanpa harus mengulang materi yang sedang berjalan.
Seiring bertambahnya usia diantara kami, seorang wanita jelita termuda dari kami pun kembali memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Tepat pada awal Agustus 2008 Yenti pun akhirnya menikah dengan pria idamannya. Dia menikah bersama bang Jack (warga Paksu). Kali ini formasi kebalikan dari sebelumnya. Kalau dulu aku yang didominasi oleh kaum Hawa, maka tiba gilaran Editha yang didominasi oleh kaum Adam. Kelompok harus tetap berjalan walau ada banyak perubahan formasi. Demikian juga materi tetap dijalankan dan tidak lupa ayat hafalan materi menjadi pengantar untuk memulai bahan kelompok. Rupa-rupanya dengan sendirinya Editha dalam beberapa waktu, ia pun mungkin menyampaikan doa permohonan pada Tuhan supaya dikirimkan ditengah-tengah kami sekaumnya. Tuhan menjawab doa Editha dan juga kami berdua yang sedikit tidak rela melihat Editha menyendiri sebagai kaum Hawa dalam kelompok kami.
Tepat pada Gathering KTB di Bumi Perkemahan Cibubur pada 28 September 2008 yang lalu, akhirnya formasi pun kembali berubah. Pada Gathering tersebut sama sekali di luar dari pada dugaan kami. Dua pria gagah dan dua wanita jelita kembali datang menghampiri kami untuk join dalam kelompok bersama. Sekali lagi pintu tetap terbuka. Mereka adalah Parman, Rudi, Erna dan yang terakhir Irma. Langsung saja acara perkenalan kami mulai. Dan tak lupa pak Koordinator (Efendi) menanyakan komitmen mereka apakah serius atau tidak.
Teman-teman baru kami ber-empat ini pun tanpa ragu menjawab “kami komit”. Setelah pertemuan bersama dengan formasi yang baru dalam acara Gathering, kami pun menetapkan waktu untuk kelompok kembali. Rupa-rupanya bilangan yang ada pada kami saat ini menurut pandangan beberapa orang over capacity atau terlalu banyak. Aku sendiri kurang tahu kira-kira sejauh mana batasan bilangan untuk ber-KTB. Jikalau mungkin aku diberi kesempatan untuk menanggapi, menurutku bilangan sekarang tidaklah menjadi soal selama komitmen bisa dijunjung. Sedikit terjadi pro-kontra diantara kami. Hampir bisa dimengerti alasan demi alasan. Tetapi di atas semua alasan maupun pertimbangan, akhirnya kesepakatan pun terjadi. Formasi tetap pada bilangan tujuh untuk ber-KTB.
Kini kami berjalan pada formasi yang baru. Tentu masing-masing kami berbeda. Baik itu perbedaan usia lahiriah, usia rohaniah, gender, karakter, sikap, pengalaman pelayanan, hobi hingga pada selera makes maupun mikes. Tetapi perbedaan yang ada tidak membuat kami untuk berjauhan, melainkan untuk saling dekat dan berbagi. Sedikit mengevaluasi dari formasi yang sebelum-sebelumnya guna perbaikan kedepannya. Biarlah formasi yang ada sekarang menjadi tempat di mana kami bisa terbuka baik suka maupun duka yang kami alami. Tempat di mana kami bisa berkreasi, membedah firman Tuhan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi lepas pribadi. Memang tidak mudah untuk menceriterakan apa yang menjadi hal privasi dalam diri. Tapi mau tidak mau jikalau kami menganggap KTB menjadi tempat bertumbuh maka seyogyanya kami harus belajar terbuka dalam satu ketaatan. Yang pasti KTB is our home together. Maka ketika personil yang satu mengalami kesusahan, maka itu pun menjadi kesusahan bersama. Sebaliknya ketika seseorang mengalami sukacita, maka itu pun menjadi bagian bersama.
Seperti halnya judul di atas “Bersinar”. Kami harus bersinar bagaikan bintang. Sekalipun sinar yang ada pada kami takarannya berbeda-beda, namun tak menjadi soal. Yang penting adalah proses pembentukan Tuhan atas diri kami sehingga setitik demi setitik kian bertambah sehingga sinar yang ada pada kami dapat mencahaya bagi kegelapan yang ada. Mungkin terang itu kami akan awali bagi lingkungan keluarga kami dahulu. Tidak perlu terang itu harus sampai kepada yang jauh-jauh seperti halnya dugem dan lain sebagainya, tapi biarlah kami mulai dari lingkungan terdekat kami. Kami bertujuh harus menjadi seperti bintang-bintang di langit yang akan mencahaya bagi kegelapan. Manakala bintang yang satu redup, maka bintang yang lain membagikan dayanya guna yang redup tadi dapat bercahaya kembali. Kami tidak lah manusia super yang tidak bisa jatuh dan meredup. Namun kebersamaan yang ada kiranya menjadi bermakna agar supaya pertumbuhan rohani senantiasa terjadi sehingga pengenalan akan Tuhan kian bertambah.
Pergumulan boleh berbeda-beda, namun yang pasti jawaban atas pergumulan tersebut bersumber dari Allah sang-Pencipta. Kiranya kami meresponi ajakan Rasul Paulus untuk menjadi seperti bintang di langit dengan tujuan menerangi gemerlap dunia (Filipi 2:15b) “Sehingga kamu bercahaya diantara mereka seperti bintang-bintang di dunia”. Tugas kita tidak menunggu Tuhan untuk menerangi kegelapan karena Terang itu sudah datang pada kita, maka tugas kita lah untuk bersinar membagikan terang itu pada mereka yang belum mendapatkan terang. KEEP GROWING TOGETHER IN KTB!!!










0 Komentar
Silakan berkomentar!