Pak Saragih di suatu warung kopi di Kota Pematangsiantar/Abhotneo |
Oleh:
Abhotneo Naibaho
Berbicara
mengenai Pahlawan Nasional, adalah petikan yang kerap kita dengar bahkan
gaungnya begitu menusantara dari seorang Proklamator Kemerdekaan Republik
Indonesia Ir. Soekarno yang berbunyi, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”
disingkat JAS MERAH.
Secara
Nasional, para Pahlawan Nasional Republik Indonesia pastilah telah kita ketahui
dan dengar siapa dan bagaimana sosok perjuangannya pada zaman penjajahan. Hal
itu kita peroleh melalui mata pelajaran PPKN maupun Sejarah saat duduk di
bangku sekolah.
Sesungguhnya
para Pahlawan di nusantara, masih banyak yang belum terekspos siapa dan seperti
apa sosok perjuangannya ketika melawan penjajah, khusunya di daerah-daerah
kecil. Sebut saja satu di antara daerah kecil tersebut adalah Kabupaten
Simalungun.
Agar
tidak lupa akan sejarah, saya mencoba membuka-buka lembaran memori setahun yang
lalu, di mana saat itu secara tidak kebetulan kami bertemu di sebuah warung
kopi di belahan barat Kota Pematangsiantar. Ia pak Saragih (salah satu Marga
orang Batak). Ketika saya bertanya siapa nama depannya, ia tersenyum lebar
seraya berkata, “Pak Saragih saja, sudah cukup itu.”
Sore
itu di warung kopi Pak Saragih bertutur sambil menikmati segelas teh hangat,
sementara aku menikmati segelas kopi panas. Tak lebih dari lima belas menit
sejak kami berkenalan satu sama lain dengan posisi duduk yang berhadap-hadapan,
ternyata Pak Saragih adalah seorang pejuang (veteran) pada zamannya di wilayah
Siantar-Simalungun.
Setahun
kami telah bertemu. Aku belum pernah berjumpa dengan sosoknya lagi.
Hari
ini, 10 November 2017, seingatku saat kami bercakap-cakap satu sama lain, bahwa
tiga tahun lagi usianya akan genap 100 tahun. Belum lekang di ingatanku sosok
Pak Saragih dengan senyumnya yang lebar dan berbicara masih tegas dan bernada
kuat. Demikian juga pemandangan matanya masih jelas. Hanya saja, soal
pendengaran, Pak Saragih sedikit mengalami gangguan, itu pun hanya sedikit.
"Di
saat kami berjuang, kami pernah berjalan kaki pulang dari Bukit Tinggi -
Sumatera Barat menuju Simalungun. Sehabis berperang dan kami beristirahat
selama kurang lebih dua jam, kami harus kembali melanjutkan perjalanan pulang
ke tanah Simalungun dikarenakan ada tugas lain yang harus kami emban saat
itu," katanya bersemangat.
Selama
lebih kurang setengah jam kami berinteraksi, pak Saragih juga mengaku bahwa
ternyata sosok dirinya adalah sosok yang religius, meyakini penuh bahwa kalau
ia bisa diberi umur panjang sampai dengan hari ini, itu semua karena Tuhan Yang
Maha Kuasa masih memberinya kesempatan untuk bisa bernafas.
Pak
Saragih memang sangat luar biasa. Menceriterakan kembali akan apa yang menjadi
pengalamannya menjadi seorang pejuang (veteran) kala itu kepada saya generasi
zaman now, adalah sebuah kehormatan bagi saya untuk bisa berkenalan meski
sangat singkat di suatu sore di warung kopi.
Paling
tidak, saya sebagai generasi zaman now bisa memetik hikmah dari semangatnya
berjuang serta memacu semangat patriotisme dalam diri bahwa setiap zaman memang
punya tantangan dan sejarahnya sendiri. Tinggal bagaimana kita bisa tetap
bersemangat menapaki jejak-jejak kehidupan pasca kemerdekaan Republik Indonesia
yang ke 72 tahun kita peringati.
Pak
Saragih aku tak tahu bagaimana kondisimu terkini, kuharap engkau masih diberi
umur panjang lagi oleh Sang Pemilik hidup untuk menceriterakan kembali
pengalaman perjuanganmu kepada generasi zaman now agar semakin banyak yang
memaknai bahwa perjuangan itu memiliki nilai sejarah yang amat luar biasa.
Pak
Saragih…., bagiku engkau adalah seorang Pahlawan. Dan hingga kapan pun, engkau
tetap Pahlawan bagi Kota Pematangsiantar dan teristimewa Kabupaten Simalungun
ini.
Sekali
lagi, terima kasihku akan pengabdianmu. Aku bangga pada mu, Pahlawan Simalungun
dari tanah Simalungun Habonaron Do Bona.
Jumat,
10 November 2017 setibanya di Kota Pematangsiantar dari Kota Medan.
Penulis
adalah sorang aktivis sosial dan berprofesi sebagai Wartawan.
0 Komentar
Silakan berkomentar!