EDITORIAL
Ilustrasi. (foto : redesign.abe) |
Kota Siantar dalam waktu dekat akan bertambah usia. Sebuah usia uzur akan genap berusia 146 tahun, sudah seharusnya menjadi kota yang mandiri sekaligus punya jatidiri, hingga kini masih saja terdapat kekurangan di sana-sini.
Kota Siantar mungkin sebagian besar masyarakatnya mengakuinya sebagai kota dengan tingkat toleransinya yang tinggi. Mendengar hal demikian, tak ada salahnya memang. Justru kita patut berbangga diri manakala toleransi yang sesungguhnya benar-benar terimplementasi di tengah-tengah masyarakatnya yang notabene heterogen.
Atas dasar tingginya “toleransi” yang demikianlah kota ini mengalami banyak kendala, utamanya soal regulasi dari pemerintahnya sendiri yang belum sesungguhnya mampu meregulasi kotanya secara arif dan tegas. Dari pemimpin yang satu berganti kepada pemimpinnya yang baru, pun tidak banyak perubahan yang signifikan terlihat di era pemerintahan dengan tagline revolusi mental, di mana setiap aparaturnya dituntut untuk bekerja, bekerja dan bekerja.
Sejatinya, gong revolusi mental telah lama gaungnya berbunyi. Dari pemerintah pusat yang digawangi oleh sosok Joko Widodo, gong tersebut sudah dipukul hingga bergema ke seantero nusantara. Tapi, tidak halnya dengan kota ini, gema pukulan gong tersebut mungkin agak terhambat bunyinya oleh karena angin tak berhembus keras untuk membawa gema tersebut sampai di kota Siantar.
Belum lama ini, kota ini dipimpin oleh sosok wakil walikota yang terbilang muda bila dibandingkan dengan usia pemimpin-pemimpin yang sebelumnya. Hefriansyah yang sedari awal ikut berkompetisi bersama pasangannya saat itu, yakni calon walikota pemenang suara terbanyak (Alm) Hulman Sitorus di tengah masa penantian proses pelantikan, nasib harus berkata lain. (Alm) Hulman Sitorus harus dipanggil oleh Sang Kuasa lewat penyakit yang dideritanya kala itu.
Sepeninggalan (Alm) Hulman Sitorus, amanah wali kota mau tak mau harus bertransisi kepada sosok Hefriansyah Noor yang kini telah menempati posisi wakil walikota sekaligus Pelaksana harian (Plh) wali kota Siantar. Beban kepemimpinan itu secara otomatis berpindah ke pundak Hefriansyah oleh karena pasangan calonnya pergi untuk selama-lamanya.
Pasca pelantikan Hefriansyah sejak februari yang lalu hingga saat ini, banyak pengamat di kota ini berkomentar agar Hefriansyah segera mengambil tindakan dan langkah-langkah konkrit agar roda pemerintahan di tengah-tengah masyarakat dapat terus berputar pada porosnya. Sebut saja, satu dari langkah konkrit tersebut telah diambil, di mana baru-baru ini pengukuhan terhadap pejabat eselon 2 sebanyak 29 orang pejabat telah dikukuhkan.
Di samping langkah yang telah diambil di atas, tentu masih banyak lagi langkah-langkah konkrit lain yang sedang mengantri untuk disikapi dan ditindaklanjuti. Berbagai polemik tak kunjung mendapat solusi. RSUD Djasamen Saragih contohnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih rendahnya integritas dari para dokter dalam hal jam kehadiran, sehingga berdampak kepada pasien yang seolah terlantarkan dengan menunggu-nunggu dengan lama hingga sang dokter tiba di rumah sakit milik pemerintah daerah itu. Bahkan kemarin, Hefriansyah telah mendapatinya langsung di RSUD Djasamen Saragih dengan reaksinya yang marah-marah di sana. Namun, apakah di balik kemarahan itu tercipta sebuah solusi sekaligus tindakan berupa punishment terhadap para dokter yang datangnya molor? Rakyat menunggu sikap tegas akan hal itu.
Demikian halnya soal Taman Bunga atau yang secara administratif diketahui dengan nama “Lapangan Merdeka”. Polemik di mana para pedagang Taman Bunga masih saja nekad berjualan di dalam Taman Bunga dengan alasan klasik demi mencari nafkah sehari-hari. Bahkan kemarin, akibat perebutan lapak di dalam Taman Bunga, sesama pedagang saling cakar dan saling menjambak satu sama lain, hingga akhirnya Satpol PP turun tangan untuk melerainya.
Masih soal Taman Bunga, jalan di sisi Taman Bunga (terusan Jalan Merdeka – Jalan WR Supratman) ada aspirasi dari para pedagang agar Pemerintah Kota segera melakukan perbaikan dan pelebaran jalan sekaligus penerangan lampu di sana. Jalan yang berlubang di sepanjang jalan tersebut tentunya rentan membahayakan pengguna jalan tersebut. Ironisnya, ketika Hetanews melakukan konfirmasi akan hal ini, Plt Sekda Reinward Simanjuntak menjawabnya dengan kalimat, “Saya pelajari dulu”.
Belum lagi maraknya pedagang paket internet berjualan di sisi jalan, seperti di Jalan Merdeka, Jalan Sutomo, Jalan Kartini, Jalan Sang Naualuh, lagi-lagi Pemerintah belum mampu meregulasi para pedagang di mana semestinya zona untuk berjualan. Ditambah lagi alihfungsi lahan pertanian disulap dengan seketika menjadi kawasan perumahan oleh ulah para pengembang, bahkan ada saja yang tidak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pembangunannya masih terus berlanjut meski surat peringatan sudah dilayangkan kesekian kalinya. Lagi-lagi pembiaran masih saja terus terjadi.
Yang terakhir, dari sederet catatan redaksi kami yang menunjukkan belum mampunya Pemerintah Kota untuk meregulasi kotanya adalah soal pelaksanaan kegiatan road race yang bertajuk “Siantar Race 2017” di seputaran Lapangan Adam Malik yang direncanakan pada minggu ini, pun menjadi polemik di kota ini. Seakan adanya tebang pilih siapa yang empunya gawean event tersebut, padahal sebelumnya sudah ada MOU antara Pemerintah Kota Siantar dengan Polres Siantar bahwa daerah tersebut tidak bisa lagi digunakan untuk kegiatan sejenis road race. Sebelumnya juga telah digaungkan bahwa zona tersebut adalah zona “Car Free Day” pada setiap hari Minggu pagi. Pertanyaan yang tersisa, mengapa pelaksanaan “Car Free Day” tidak lagi berlanjut?
Sebagai kota dengan tingkat toleransinya yang tinggi, mungkin yang menjadi penyebab utama bahwa Pemerintah Kota menolerir berbagai polemik di atas. Rasa enggan dan ragu untuk bertindak mengambil langkah-langkah konkrit menjadi kendala kota ini untuk dapat menjadi kota yang mandiri yang punya jatidiri.
Sumber: www.hetanews.com
April 2017
0 Komentar
Silakan berkomentar!