Top Ads


Catatan Redaksi: Enaknya Korupsi Tanpa Pengakuan (E-KTP)


Ilustrasi. (foto : abe)


Beberapa waktu yang lalu, ketika Ketua Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) menyampaikan ke publik soal kasus mega korupsi E-KTP berikut nama-nama yang diduga kuat menerima uang haram tersebut dengan kerugian negara yang sangat fantastis sebesar Rp 2,3 T, tentu mengundang kekejutan bagi banyak pihak, utamanya di kalangan Pejabat negara dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang katanya perwakilan dari rakyat itu.

Meski sederetan nama sudah dibeberkan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, ditambah lagi dengan kicauan seorang Nazaruddin yang hingga kini masih mendekam sebagai tahanan KPK, beberapa di antara nama-nama tersebut menepisnya bahwa mereka tidak terlibat. Bahkan, seorang Gamawan Fauzi mantan Mendagri itu pun merasa sama sekali bahwa ia tidak terlibat dalam kasus mega korupsi itu.
Tidak hanya di kalangan DPR, beberapa pejabat lainnya pun (dahulu Anggota DPR), pejabat Bank Indonesia, dan sejumlah nama besar lainnya ikut terseret-seret kasus E-KTP yang teramat sexy tersebut. Kecaman dari masyarakat luas merebak atas ulah para koruptor yang seolah tak pernah kapok dengan penangkapan para koruptor-koruptor sebelumnya yang telah mendekam di balik jeruji besi.
Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang kini di era tehknologi canggih sudah dikonversi menjadi E-KTP sejatinya adalah sebuah kartu yang berfungsi untuk menandakan sebagai kartu pengenal atau identitas seseorang sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) di Republik Indonesia tercinta ini. Dengan dalih, bahwa seluruh data penduduk di bangsa ini telah tersistem dengan baik yakni sistem yang berbasis elektronik. Adanya sistem tersebut, dimungkinkan bahwa seseorang tidak akan bisa memiliki KTP ganda lagi seperti halnya dulu-dulu sebelum dikonversi ke sistem elektronik.
Melakukan kejahatan korupsi itu sepertinya tampak “enak-enak saja” karena menikmati uang nomplok yang bukan hak atau bagiannya. Bahkan, pada saat seseorang calon koruptor ketika hendak melakukan kejahatan tersebut sebelumnya, ia tidak berpikir panjang ke depan akan resiko seperti apa yang kelak akan dihadapinya manakala perbuatannya terendus oleh pihak yang berwajib. Atau malah sebaliknya, mungkin saja ada calon koruptor yang beranggapan meski ia memikirkan sebelumnya resiko apa yang akan dihadapinya kelak, ia malah terlihat santai dan tenang saja oleh karena mengandalkan uang dan hartanya yang menggunung (entah dari mana saja sumbernya) ditambah lagi faktor kekuasaan dan wewenang yang tengah diembannya dan juga bergaul karib dengan para pengusaha kakap atau para cukong dengan harapan bahwa semuanya nantinya dapat diatur dengan mulus dan rapi.
Dugaan mega korupsi E-KTP dengan kerugian negara sebesar Rp 2,3 T tersebut tentunya berdampak kepada kepercayaan masyarakat yang kian menipis kepada para pejabat negara dan juga para wakil rakyat yang nyata-nyata disumpah menurut agama dan keyakinan mereka masing-masing sebagai manusia yang beragama. Realitanya, kejahatan korupsi di negara ini dari tahun ke tahun terus meningkat seakan efek jera menjadi mandul. Jika sudah begini, apa yang salah di negara ini dan bagaimana sesungguhnya formula yang ampuh untuk mencegah terjadinya praktek korupsi?

Penulis: Abhotneo. Editor: abn.



Sumber: www.hetanews.com
Maret 2017

Posting Komentar

0 Komentar