OPINI
![]() |
| Ilustrasi. |
Oleh: Abhotneo
Naibaho
Sudah berbulan-bulan
kasus ‘sianida’ yang sesungguhnya belum juga tuntas, bahkan tarik-ulur
bak layang-layang yang mana sebentar lagi musimnya akan tiba bagi anak-anak sekolah
akan menikmati liburan sekolah dengan masa yang terbilang cukup panjang.
Bicara
soal ‘sianida’ saya tak akan membahas ‘sianida’ dalam arti yang sesungguhnya.
Di samping kasusnya belum tuntas, sayat idak begitu paham soal kimia, apalagi ahli
kimia.
Berangkat
dari angan-angan dalam alam piker semata, ditambah lagi realita amatan selama ini
di sebuah warung kopi yang sudah tak asing lagi di Kota yang proses
Pemilukadanya tertunda dalam kurun waktu yang belum ditentukan ini.
Rupa-rupanya,
zat kimia dengan kata “sianida” yang sedang bombastis tersebut juga kerap diucapkan
dalam keseharian berkomunikas ijika seseorang bersuku batak dan sedang menggunakan
bahasa batak. Sianida dalam penggalan katanya menurut saya dalam versi Bataknya
kira-kira demikian, "Sian - i - da" (Dari situ ya).
Dalam
suatu kesempatan, Ucok Parningotan dan Ucok Parulian bertemu tanpa janjian sebelumnya
di Warung Kopi yang telah melegendaris itu. Mereka duduk dengan meja yang
berbeda dikarenakan sedang larut dalam obrolan plus sekelumit jenaka dengan genk
masing-masing.
Singkat
cerita, dari mejanya, Ucok Parulian and the genk hendak berpamitan kepada Ucok Parningotan
seraya berkata; "Sian i da!” (dari situ ya). Maksdunya; “kamu yang bayarin
kopi kita ya.” (kira-kira demikian terjemahan
bebasnya)
Di
Warung Kopi yang telah melegendaris itu, memang tabiat “saling lempar bola” (atau dalam bahasa bataknya “marsitugan-tuganan”)
demikian kerap terjadi tanpa memandang status sosial-ekonomi. Di sana semua
lapisan masyarkat lebur menjadi satu. Bahkan, bahasannya mulai dari bumi hingga
langit tanpa terasa sedari matahari terbit hingga terbenamnya tak terasa berlalu
hanya dengan satu gelas kopi (bila
memungkinkan – nambah).
Mungkin
tidak sedikit dari mereka yang sering mendapatkan ‘lemparan bola’ tadi merasa kapok alias berpindah ke warung kopi di
mana ia bisa merasa lebih nyaman. Wajar…saja!!!
Bisa
dibayangkan apabila dalam sehari bisa enam hingga tujuh gelas kopi yang harus ia
tanggung hanya karena rekannya memandang bahwa ia punya ekonomi lebih. Tap ijika
dikalikan selama satu minggu, dikalikan lagi selama satu bulan begitu seterusnya,
sebanyak apa pun doku yang ia punyai, pasti akan berjumpa dengan kata “limit”.









0 Komentar
Silakan berkomentar!