Oleh: Abhotneo Naibaho
Semasa kanak-kanak saat ibu dari mamaku alias Opung boru masih hidup kerap menumpang bus GOK apabila hendak berkunjung ke rumah kami maupun sebaliknya saat Oppung hendak kembali pulang ke rumahnya di (saat ini) Kelurahan Bane di Jalan Sisingamangaraja, Pematangsiantar.

Demikian halnya, aku dan orangtuaku juga sering menumpangi bus tersebut saat hendak mengunjungi rumah Opung tersebut. Aku punya sepupu yang bisa dibilang seusiaku dan ia tinggal bersama dengan Opung di rumahnya. Namanya Augus Sihombing. Orangnya sedikit pendiam, namun kocak. 

Augus menyebut bus GOK dengan guyonan ‘Gobar Opung Kotor’ (terj; Selimut Opung Kotor). Entah apa dasar ia bisa nyeletuk menyebutkan bahwa singkatan dari bus GOK itu adalah ‘Gobar Opung Kotor’. Kala itu mendengar istilah yang Augus cetuskan, mengundang canda-tawa dari kami sekeluarga. Bahkan istilah itu menjadi sering kami sebutkan juga saat melihat maupun menumpangi bus GOK yang kala itu berukuran tiga perempat. 

Minimnya kendaraan roda dua saat itu, bisa dibilang bus GOK adalah salah satu angkutan primadona masyarakat Siantar menumpanginya. Bayangkan, sesak dan padatnya penumpang di dalam, di atap bus selain dari barang-barang bawaan penumpang, juga harus digunakan bagi penumpang sesuai arahan dari sang kondektur atau keneknya dengan istilah Siantarmannya ‘Manggandol’.

Sembari ‘Manggandol’ di atap bus saat bus melaju, penumpang di atas ada yang bernyanyi, teriak histeris dan ekspresi lainnya oleh karena nikmatnya suasana ‘Manggandol’ jaman itu. Ongkos ketika itu cukup dengan uang receh dua ratus rupiah bagi anak-anak dan lima ratus rupiah bagi orang dewasa.