Ilustrasi tahu-tempe dalam bingkai http/abhotneo



Oleh: Abhotneo Naibaho

Seorang anak usia 11 tahun berdarah batak yang tinggal di sebuah kota kecil kerap ngedumel soal makanan sehari-hari oleh karena status ekonomi kedua orangtuanya yang pas-pasan hingga menyebabkan mereka hanya bisa makan tahu dan tempe hampir setiap harinya.

Sebut saja namanya Ungut. Seorang bocah pria kelas 5 sekolah dasar (SD) di salah satu sekolah negeri di kotanya. Kebiasaannya selepas pulang sekolah, sejenak menghabiskan waktu bermain di warnet yang hanya berjarak 50m dari rumahnya.

Di warnet, walau teman-teman seusianya lebih banyak bermain game, beda halnya dengan Ungut. Kegemarannya selama di warnet, Ungut kerap mencari atau berselancar (browsing) lewat mesin pencari Google. Lewat Google, ia mengetahui banyak hal. Dari wawasan tentang ilmu pengetahuan alam sampai ide-ide kreatif merupakan kebiasaannya jika bermain di warnet.

Selama kurang lebih satu jam-an hampir setiap hari, Ungut bisa dibilang seorang bocah diusianya yang lumayan punya wawasan yang agak luas oleh karena kegemarannya untuk mencari tahu akan sesuatu hal di Google.

Di suatu siang, selepas habis bermain di warnet, Ungut merasa perutnya sudah bernyanyi-nyanyi akibat rasa lapar yang ditahankannya selama ia berada di warnet. Sesampainya di rumah, Ungut langsung menuju wastafel untuk mencuci tangannya terlebih dahulu. Sesudahnya, ia langsung beranjak ke arah meja makan dan segera membuka tudung saji. Mencoba membuka tudung saji secara perlahan dan belum terbuka lebar, terlihat lauk-pauk berupa tahu dan tempe tersedia dalam piring berbahan kaleng berukuran sedang.

Melihat lauk-pauk yang tersedia saat itu, Ungut bergumam dalam hatinya, “hmm….mmm, holan tahu tempe panganon (hanya tahu tempe melulu lauk-pauk yang mau dimakan-red)”. Ungut kembali berceloteh, sambil menyendok nasi ke piringnya, “hari-hari tempe tahu, kapan makan enak ya?” imbuhnya.

Ungut yang dilahirkan di tengah keluarga yang cukup sederhana, orangtuanya memang hanya bisa menafkahi anak-anaknya dengan makanan alakadarnya. Kendati demikian, secara ekonomi hanya kategori sederhana, namun soal bimbingan orangtua Ungut kepada anak-anaknya, terbilang cukup baik, utamanya dalam hal proses belajar dan kegetolan untuk menjadikan anak-anak yang gemar belajar dan banyak baca. Terbukti, rasa penasaran Ungut, yang sering kali ia harus bertanya kepada orangtuanya, tetangganya atau orang dewasa sekalipun ketika ia belum memahami sesuatu.

Dengan sedikit terpaksa, Ungut melahap makan siangnya saat itu secara perlahan-lahan sambil ia membayangkan kapan ia punya kesempatan untuk makan enak di restoran yang nikmatnya mungkin bisa terus membekas dalam ingatannya. Selesai makan, Ungut pun langsung mencuci piring makannya dengan bersih dan merapikannya kembali.

Siang itu jam menunjukkan pukul 14.15 Wib, Ungut kembali mengulang pelajarannya di sekolah dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan Gurunya. Semangat belajar Ungut memang cukup tinggi. Hal itu ditandai dengan prestasinya di sekolah yang masuk ranking lima besar. Usai belajar, Ungut beristirahat di kamarnya. Dalam tidurnya ia bemimpi. “Wuiiihhhhh…..makan siang hari ini enak sekali ya, bahkan lauk-pauk ada lima jenis tersedia di meja makan. Ungut melahap makanan yang terhidang dengan sangat lahap, hingga ia begitu merasa kekenyangan.” Pak…Mak…, besok-besok kita makan yang seperti ini lagi ya,” pintanya kepada kedua orangtuanya. Bapak dan Mamaknya menjawab, “okelah nak, tapi janji harus giat belajar terus ya!” “Baik, pak..mak,” jawab Ungut dengan cepat.

Sore harinya jam menunjukkan pukul 16.30 wib, Ungut pun terbangun dari tidurnya. Masih di atas tempat tidurnya, Ungut tertunduk lesu, ternyata ia hanya bermimpi ketika menyantap makanan yang enak-enak dengan lauk-pauk ada lima jenis. “Ahh…, sudahlah, ternyata hanya sebatas mimpi aku bisa menikmati makanan yang enak-enak seperti beberapa teman di sekolahku yang kehidupannya lumayan mapan,” Ungut berkata-kata dalam hatinya.

Sehabis mandi, Ungut bermain-main di pekarangan rumah dengan sepedanya yang juga sudah cukup usang. Namun, Ungut senang bisa bermain sepeda meski sepedanya tak sebagus sepeda teman-temannya yang lain. Tiga puluh menit kemudian, bapaknya muncul dari pagar depan sepulang kerja di salah satu pabrik di kota itu. “Sore nak, gimana sekolahnya hari ini,” sapa Bapaknya bersemangat. “Sore juga pak, ada bawa makanan enak enggak,” balas Ungut kepada Bapaknya. Bapaknya menyahut, “sabar ya nak, bulan depan, Bapak akan dapat bonus dari kerjaan. Nanti kita akan beli makanan yang enak yang kamu suka,” ujar Bapaknya, sambil mereka masuk ke dalam rumah.

Tahu dan tempe, menjadi menu khas nusantara sejak dulu hingga kini.


Di dalam rumah, Ungut dan Bapaknya masih melanjutkan percakapan mereka. Lagi-lagi masih memperbincangkan soal makan yang enak-enak. Meski Ungut punya keinginan yang besar untuk menikmati makanan yang enak-enak, Bapaknya tetap memberi harapan dan motivasi dengan sabar pada anaknya Ungut. Bapaknya melanjutkan lagi, “Ungut…kamu belajar yang giat ya, supaya suatu hari nanti kamu bisa menjadi anak yang sukses. Jika kamu udah sukses, impian mu akan bisa kamu penuhi, percayalah!”

“Meski saat ini kita hanya bisa menikmati makanan alakadarnya, harus tetap disyukuri agar bisa menjadi kesehatan dalam tubuh kita,” kata Bapaknya. “Baik pak, semoga Tuhan mengabulkan doa-doa kita ya pak,” jawab Ungut. Bapaknya melanjutkan lagi, “tempe dan tahu itu memang makanan yang murah meriah, dan mungkin kamu merasa bosan karena hampir setiap hari kita hanya bisa makan dengan lauk-pauk seperti itu dulu. Tapi, secara kesehatan, itu sebenarnya cukup baik karena mengandung gizi yang tinggi”.

Sementara Ungut dan Bapaknya asyik mempercakapkan soal makanan, Mamaknya Ungut akhirnya pulang dari Pasar dengan membawa sisa dagangannya yang tinggal hanya sedikit. Mamaknya Ungut bekerja sebagai pedagang sayur-mayur di Pasar tradisional di kota di mana mereka tinggal. Sambil, mamaknya beres-beres, tak terasa hari telah gelap dan mereka bertiga sudah merasa lapar.

Di meja makan, setelah mamaknya Ungut mempersiapkan santapan malam, Bapaknya mempersilahkan Ungut untuk memimpin doa makan malam saat itu. “Ayo Ungut silahkan pimpin doa makan kita,” pinta Bapaknya. Ungut pun dengan sikap yang penurut meresponi ajakan Bapaknya. Dalam doa yang dimpimpinya, ia berseru, “Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Baik, meski kami keluarga yang sederhana dan hingga saat ini hanya bisa makan tahu dan tempe hampir setiap harinya, suatu saat aku bermimpi bisa sukses supaya kelak, aku dan orangtuaku bisa menikmati makanan yang enak. Berkatilah makanan ini ya Tuhan dan jadikan menjadi kesehatan bagi kami. Karena dengan giat belajar di sekolah, suatu waktu nanti, kami akan mendapatkan rejeki dari Mu. Terima kasih ya Tuhan, dengarlah doa dan permohonan kami, Amin,” tutup Ungut dalam doanya.

Mereka bertiga, Bapak, Mamak dan Ungut pun memulai makan malam mereka dengan sesekali bertukar pendapat membicarakan banyak hal. Mulai dari pelajaran di sekolahnya hingga kepada cita-citanya suatu hari nanti bisa terwujud. Di akhir perbicangan mereka di meja makan, Ungut yang fasih berbahasa batak mengatakan, “holan tahu tempe panganon (hanya tahu tempe yang bisa dimakan-red). Begitulah aku sering bergumam dalam hatiku. Tapi aku sangat bersyukur masih bisa makan. Karena menurut informasi yang kudapat dari Google, masih banyak anak-anak seusiaku yang tidak bisa makan sepertiku. Suatu hari nanti aku mau menjadi seorang Insinyur yang ahli soal IT (Informasi dan Tekhnologi),” cetus Ungut kepada bapak dan mamaknya malam itu. Bapak dan mamaknya Ungut sedikit tersenyum dan tetap memberi motivasi kepada Ungut.

Bulan depannya, apa yang dijanjikan Bapaknya kepada Ungut akhirnya kesampaian juga. Bapaknya mendapatkan bonus dari tempatnya bekerja. Sore itu, mereka bergegas ke kota untuk bersantap malam bersama. Di sebuah restoran yang tak terlalu mewah, Ungut mencoba memilih beberapa lauk-pauk kesukaannya malam itu. Ada rendang sapi, udang goreng dan cah kangkung yang dipesannya saat itu. Dengan lahapnya, Ungut menikmati makan malam dengan cucuran keringat di keningnya. Makan malam kali ini jauh berbeda dari sehari-harinya. Ungut merasakan nikmat dan sangat puas kali ini. Ia mengucapkan terima kasih kepada orangtuanya karena Tuhan telah memberi rezeki bagi keluarga mereka.
Tak terasa, waktu sepertinya berputar begitu cepat. Tujuh tahun kemudian, Ungut pun menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengat atas (SMA) dan ia diterima kuliah lewat jalur undangan yang diterima pihak sekolah. Ungut dikabarkan diterima di salah satu perguruan tinggi terbaik di pulau Jawa. Lebih-kurang empat tahun lamanya, Ungut menyelesaikan studi dengan hasil yang begitu memuaskan. Bahkan, prestasinya di kampus sejak semester pertama hingga akhir studi, bisa dikatakan sangat gilang-gemilang. Berbagai ajang perlombaan ia ikuti, dan ia tampil secara menonjol di kampusnya.

Harapan Ungut semakin bersinar secara perlahan namun pasti. Tak sampai menunggu diwisuda, Ungut diterima kerja di salah satu BUMN perakitan pesawat terbang di Jawa Barat. Pemikiran dan ilmu yang ia dapat selama ini ia curahkan secara total dalam pekerjaanya. Tiga tahun kemudian, ia dipercaya untuk memimpin satu departemen di tempat ia bekerja. Karirnya semakin cemerlang berkat kegigihannya bekerja dengan baik. Sambil bekerja, Ungut pun mulai membuka sebuah restoran kecil dengan menu masakan nusantara, yang menu andalannya salah satunya tahu dan tempe. Ia ingat betul, betapa kehidupannya sejak kecil tak jauh dari tahu dan tempe. Dari satu, dua dan terus berkembang hingga ke beberapa cabang kota, restoran Ungut semakin mendapat penerimaan di hati para pelanngannya.

Ungut mendapatkan kesukseskan baik dalam karir maupun usaha. Ia membuat harum sekaligus kebanggaan bagi kedua orangtuanya. Di balik kesederhanaan hidupnya sejak kecil, ada masa depan yang cerah yang ia peroleh tatkala ia dewasa. Ungut begitu bersyukur dalam perjalanan hidupnya. Hingga kini, ia tak lupa dengan menu tahu dan tempe sebagai lauk-pauk harus tersedia di rumah. Tahu dan tempe membentuk mentalnya untuk hidup pede, alhasil ia menjadi orang gede (sukses dan berkelebihan).