Ilustrasi. |
Oleh : Abhotneo Naibaho
Antara kaum mayoritas maupun kaum minoritas sesungguhnya 'Tegak Sepematang'. Yang membedakannya hanyalah soal bilangan saja, tiada yang lain.
Aksi-aksi yang ‘katanya’ berdamai selama ini tampaknya belum sesungguhnya berdamai. Terbukti, kejadian penghentian pada Kebaktian Kebangunan Rohani atau KKR di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Jalan Tamansari, Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/12/2016) malam oleh sebuah organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan Pembela Ahlus Sunnah (PAS), menunjukkan bahwa istilah ‘damai’ hanyalah isapan jempol belaka.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi dalam upayanya yang gencar melakukan silahturahmi dan konsolidasi ke beberapa alim ulama, pimpinan parpol dan juga tokoh organisasi kemasyarakatan mengatakan agar yang mayoritas menghargai yang minoritas. Demikian sebaliknya, yang minoritas menghormati yang mayoritas. Imbauan sang Presiden tersebut, masih saja dianggap remeh oleh beberapa kalangan atau kelompok.
Silang Monas, Bundaran Patung Kuda Thamrin, Bundaran HI beserta tempat lainnya yang adalah tempat umum, menjadi saksi nyata bahwa ada ribuan, bahkan jutaan (claim adu angka aksi) umat yang melakukan ibadah berdoa agar yang Tuhan Yang Maha Kuasa menjaga kebhinekaan di tengah-tengah bangsa Indonesia. Faktanya, sebuah perayaan natal di Sabuga, Bandung harus mendapat penghentian dari kelompok yang memprotes jalannya acara dengan alasan beribadah menggunakan tempat umum. Sungguh ironis!
Apa yang salah dengan tempat umum, selama tidak merusak bahkan tidak mengganggu ketertiban umum. Belum lagi urusan perijinan dengan pihak yang berwajib sebelumnya sudah diurus dengan segala prosedur yang berlaku. Adalah salah ketika tempat umum digunakan dengan cara merusak hingga mengganggu ketertiban umum.
Peristiwa di atas menunjukkan bahwa pihak kepolisian bersama dengan pemerintah daerah belum sepenuhnya mengindahkan imbauan dari Presiden Jokowi soal Mayoritas dan Minoritas.
“Tegak Sepematang” sebuah ungkapan peribahasa yang berarti; kedudukan yang sejajar, seharusnya berlaku antara yang Mayoritas dan Minoritas di Republik Indonesia karena negara ini bukanlah negara agama, melainkan negara yang hanya berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945 yang dirajut dalam bingkai kebhinekaan sejak bangsa ini merdeka.
Sudah saatnya pemerintah daerah dan para penjaga negara–TNI dan Polri menjalankan amanat konstitusi agar bingkai kebhinekaan bisa dirajut kembali. Pihak-pihak yang intoleran apalagi hingga berbuat anarkis, sudah seharusnya ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak lupa diberikan pembinaan dan pemahaman yang benar kembali bagaimana hidup berbangsa dan bernegara secara baik dan benar karena sesungguhnya kedudukan antara yang Mayoritas dan yang Minoritas adalah sejajar.
Sumber: www.transformasi.news
Diterbitkan 7 Desember 2016
0 Komentar
Silakan berkomentar!